"Tahun depan ada pemilu di Amerika dan India. Mereka kan pasti tidak ingin terlihat tidak mampu memberikan energi bagi rakyatnya," ujar Berly dalam webinar Road to IMEC 2023, Selasa (12/12/2023).
"Sama seperti kita. Jadi demand-nya coal sebagai energi yang relatif lebih rendah harganya itu akan masih jadi pilihan," imbuh dia.
Baca Juga:
Prabowo Resmikan 55 Proyek EBT Senilai Rp 25 Triliun, Listrik Hijau Siap Terangi Nusantara
Sehingga, Berly memprediksi, jika memang akan ada pergeseran dari energi fosil menuju renewable energy, pasti nilai harganya bakal lebih mahal dibandingkan batu bara.
Program transisi menuju energi ramah lingkungan juga berpotensi jadi samar, khususnya di Amerika Serikat jika Donald Trump terpilih menjadi pemimpin baru di Negeri Paman Sam.
Seperti diketahui, Trump pada masa jabatan Presiden Amerika Serikat sebelumnya lantang menolak Paris Agreement 2015. Dengan alasan, AS bakal menghadapi ancaman ekonomi besar akibat upayanya beralih ke energi hijau.
Baca Juga:
Strategi Inovatif Dongkrak Penjualan Listrik PLN Hingga 17,78 TWh Sepanjang 2024
"(Switching to renewable energy) sepertinya baru akan dilakukan pasca pemilu, khususnya di Amerika, kalau Biden menang. Kalau Trump menang, dia akan full back to fossil lagi," sebut Berly.
Sama halnya dengan Indonesia, dimana Berly melihat penerapan pajak karbon yang rencananya dikenakan kepada pembangkit listrik swasta (IPP) harus ditunda.
"Karena kalau dikenakan, nanti ada tekanan buat kenaikan harga listrik yang sangat berat di tahun pemilu. Jadi kondisi-kondisi ini yang menyebabkan demand tahun depan masih akan tinggi," pungkas Berly.