WahanaNews-Lampung | Pandemi Covid-19 turut menggeser makna sekaligus nilai kepahlawanan di tengah masyarakat.
Dalam memaknai Hari Pahlawan, masyarakat tak lagi melihat semangat dan sosok besar yang identik dengan perjuangan fisik, tetapi justru orang-orang terdekat dengan peran-peran kecil yang krusial dalam menghadapi permasalahan kehidupan dan kebangsaan, termasuk pandemi Covid-19.
Baca Juga:
Dua Kecamatan ‘Clear’ Rekapitulasi, Ketua KPU Kota Bekasi Klaim Pleno Terbuka Kondusif
Jajak pendapat Litbang Kompas, yang dilakukan pada 20-23 Oktober 2021, menunjukkan, mayoritas (42,3 persen) dari 510 responden berusia minimal 17 tahun yang ada di 34 provinsi merasakan nilai-nilai kepahlawanan di lingkungan sekitarnya semakin kuat dibandingkan dengan periode sebelum pandemi.
Nilai kepahlawanan yang paling mereka rasakan adalah solidaritas sosial (46,6 persen), contohnya saling membantu sesama yang semakin kuat.
Sikap saling membantu tetangga atau keluarga sekitar yang mengalami persoalan ekonomi dan kesehatan merupakan nilai kepahlawanan yang menurut sebagian besar responden (49,8 persen) paling dibutuhkan di tengah kondisi saat ini.
Baca Juga:
Mulai Minggu Ini, Deretan Film Blockbuster Big Movies Platinum GTV Siap Temani Akhir Tahunmu!
Oleh karena itu, sosok yang dianggap sebagai pahlawan di tengah pandemi Covid-19 adalah tenaga kesehatan (39,5 persen), keluarga (33,1 persen), pemerintah (17,1 persen), TNI/Polri (4 persen), masyarakat (3 persen), dan lainnya (1,9 persen).
Sementara itu, tantangan utama Indonesia selama satu tahun mendatang yang membutuhkan nilai kepahlawanan adalah sektor penegakan hukum yang adil (42,5 persen) dan pemulihan dampak pandemi (33,4 persen).
Sektor lain yang dipandang membutuhkan nilai kepahlawanan adalah pencegahan dan pemberantasan korupsi (20,5 persen).
Pakar Aliansi Kebangsaan, Yudi Latif, mengatakan, pemaknaan kepahlawanan yang diperlukan di tengah masyarakat saat ini memang telah bergeser.
Dari yang bersifat maskulin, yang identik dengan patriotisme negatif-defensif seperti sikap melawan, menjebol, menjadi kepahlawanan feminin yang lekat dengan patriotisme positif-progresif, yang mewujud dalam sikap membangun, merawat, mengolah, dan menata bangsa.
Kepahlawanan feminin menekankan sikap welas asih, memakmurkan, dan peduli pada sesama, alam, dan semesta.
Watak ini yang dibutuhkan untuk membangun negara di tengah pandemi Covid-19 dan berbagai persoalan lainnya.
”Karakter kepahlawanan yang diperlukan harus bisa mengurangi watak maskulinitas kependekaran, digantikan oleh jiwa kepahlawanan yang lebih feminin,” kata Yudi, saat dihubungi wartawan dari Jakarta, Selasa (9/11/2021).
Mengutip filsuf Johann Gottfried Herder, Yudi menambahkan, untuk menumbuhkan karakter tersebut, diperlukan upaya membangun keadilan universal, rasa kemanusiaan, dan nalar aktif dengan menumbuhkan jiwa damai dan mengutamakan kepentingan orang lain.
Pahlawan feminin juga harus terus mengingatkan bahaya dari salah urus negara dan adanya pembangkangan terhadap otoritas politik yang kerap menyulut pertikaian demi kepentingan pribadi.
”Untuk itu, perlu ditumbuhkan semangat kewargaan yang aktif dan kritis,” ujarnya.
Selama ini, menurut Yudi, kekeliruan dalam proses pembelajaran politik di Indonesia adalah menempatkan pahlawan sebagai sosok yang ada di luar diri warga.
Pahlawan tidak dihadirkan dalam konteks kekinian, yang berada di dalam diri setiap orang.
”Saatnya kita jadikan kepahlawanan sebagai sesuatu yang hidup di dalam diri sekarang dan di sini, dengan terus mentransformasikan diri menjadi pribadi dan bangsa yang unggul,” katanya.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, sepakat, nilai kepahlawanan di tengah masyarakat saat ini memang telah berubah.
Pada era pra-kemerdekaan, pahlawan adalah mereka yang mampu melakukan perjuangan fisik untuk membebaskan bangsa dari penjajahan.
Saat ini, bangsa Indonesia tidak lagi menghadapi perang secara fisik, tetapi persaingan dalam ranah ekonomi, teknologi, dan sosial budaya.
Oleh karena itu, mereka yang relevan sebagai pahlawan adalah sosok-sosok yang berjuang untuk kemandirian ekonomi dan sosial, mengatasi kemiskinan dan kesenjangan, serta membangun Indonesia yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Mengenai minimnya sosok kepahlawanan di bidang penegakan hukum, menurut Azyumardi, para penegak hukum harus mulai membangunnya dengan menunjukkan intgritas, penegakan hukum tanpa kompromi, serta berkeadilan.
Selain itu, pejabat publik juga perlu menampilkan diri sebagai sosok yang patuh pada hukum.
Dengan keteladanan, warga juga akan terbiasa mematuhi ketentuan hukum dan menjadikannya sebagai gaya hidup dan tradisi.
Modal Sosial
Azyumardi menambahkan, menonjolnya peran tenaga kesehatan dan keluarga sebagai sosok pahlawan terjadi karena saat ini mereka adalah pihak yang bersedia mempertaruhkan nyawa demi keberlangsungan hidup orang lain.
Hal ini juga menandakan bahwa solidaritas sosial masih bertahan dan justru menguat di tengah masyarakat yang tengah menghadapi kesulitan di berbagai lini kehidupan sebagai dampak dari pandemi Covid-19.
”Solidaritas yang masih kuat ini adalah modal sosial yang seyogianya dapat dikapitalisasi pemerintah untuk meningkatkan kemajuan maslahat publik,” kata Azyumardi.
Kapitalisasi modal sosial masyarakat, menurut dia, penting untuk dilakukan.
Sebab, dapat membantu memulihkan kepercayaan publik pada pemerintah, mempercepat pemulihan ekonomi dan sosial, serta memperkuat kesatuan bangsa.
Empat Pahlawan Nasional
Sementara itu, pada peringatan Hari Pahlawan tahun 2021, Presiden Joko Widodo memberikan gelar pahlawan nasional kepada empat tokoh bangsa yang telah berpulang.
Anugerah gelar pahlawan nasional itu disampaikan kepada pihak keluarga dalam rangkaian peringatan Hari Pahlawan 2021 yang bertema ”Pahlawanku Inspirasiku” di Istana Negara, Jakarta, Rabu (10/11/2021).
Salah satu tokoh yang mendapat gelar pahlawan nasional adalah Bapak Film Nasional yang juga pernah menjadi wartawan, yaitu H Usmar Ismail.
Pasca-Proklamasi, Usmar Ismail pernah mendirikan surat kabar Rakyat bersama dua sahabatnya, Syamsuddin Sutan Makmur dan Rinto Alwi.
Selain itu, di Yogyakarta, ia juga pernah mendirikan harian Patriot dan bulanan Arena.
Wartawan kantor berita Antara kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, itu pun mempunyai peran besar di dunia perfilman.
Tak kurang 30 judul film pernah dibuat sepanjang kariernya.
Salah satunya Darah dan Doa (1950), film pertama yang secara resmi diproduksi Indonesia sebagai negara berdaulat.
Hari pertama pengambilan video untuk film tersebut, yakni 30 Maret, kemudian ditetapkan sebagai Hari Film Nasional.
Tokoh lain yang dianugerahi gelar pahlawan nasional adalah Tombo Lututu dari Sulawesi Tengah; Sultan Aji Muhammad Idris dari Kalimantan Timur; dan Raden Arya Wangsakara, tokoh asal Banten.
Mereka adalah para pemimpin kerajaan/kesultanan di sejumlah wilayah Nusantara yang memimpin perjuangan melawan penjajah.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, menjelaskan, gelar tersebut diberikan karena para tokoh itu telah menginspirasi dalam membangun serta memajukan Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Secara terpisah, Menteri Sosial (Mensos), Tri Rismaharini, mengatakan, pemerintah sangat terbuka terhadap perubahan orientasi pemberian gelar pahlawan, termasuk menyesuaikan perkembangan zaman.
Kini, pahlawan tidak harus pernah berperang, tetapi mereka yang memperjuangkan kepentingan bangsa. Setiap warga negara bisa berjuang sesuai dengan profesi masing-masing.
”Maka, ke depan, kemungkinan gelar pahlawan bisa diberikan kepada berbagai profesi, sesuai zaman dan situasinya,” ujarnya.
Kondisi ini akan terus diperkuat dengan melakukan komunikasi antarpihak agar solidaritas bisa lebih berdampak.
Kementerian Sosial juga berupaya menguatkan kebersamaan dan gotong royong dalam segala hal melalui komunitas, semisal dengan membentuk koperasi atau kelompok di lingkungan terdekat.
Melalui kehadirannya, maka dalam setiap ada persoalan di komunitas itu mereka akan saling berbagi dan menguatkan. [non]