Dengan demikian, dia meminta pemerintah untuk segera mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang tarif pembelian tenaga listrik energi baru dan terbarukan (EBT) yang naskahnya sudah rampung pada Januari 2020 lalu.
Perpres itu, kata dia, bakal menjamin harga keekonomian yang mesti dibeli oleh PLN untuk meningkatkan partisipasi swasta pada program bauran energi bersih ke depan.
Baca Juga:
Energi Terbarukan RI Masih Tertatih, Ini Datanya
“Secara komersial ada aturannya dan jelas keekonomian suatu proyek berapa untuk PLTS berapa untuk hydro berapa itu ada faktor ekonomis di sana itu kalau mau beralih cepat,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan realisasi investasi sub sektor energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) baru mencapai US$0,58 miliar atau 14 persen dari target 2022 yang dipatok sebesar US$3,98 miliar.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengatakan rendahnya realisasi investasi itu disebabkan karena molornya pengesahan Peraturan Presiden (Perpres) tentang tarif pembelian tenaga listrik energi baru dan terbarukan (EBT) yang direncanakan rampung pada awal tahun ini.
Baca Juga:
Komisi VII DPR Dukung Penuh PLN Kembangkan Super Grid, Smart Grid dan Smart Control Center
Selain itu, Dadan menggarisbawahi, kebijakan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS Atap yang sempat terkendala turut memengaruhi capaian investasi yang relatif minim hingga pertengahan tahun ini.
“Dari target hampir US$4 miliar basisnya Perpres tentang tarif EBT bisa keluar di awal tahun juga kebijakan PLTS Atap bisa smooth berjalan,” kata Dadan saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Senin (6/6/2022).
Kendati demikian, Dadan optimis, investasi pada subsektor EBTKE itu dapat mendekati target yang telah dipatok pada tahun ini.