WahanaNews-Lampung | Asosiasi Produsen Listrik Swasta (APLSI) meminta PLN untuk meningkatkan porsi investasi pada pembelian energi baru dan terbarukan (EBT) dari produsen swasta.
Ketua Umum APLSI Arthur Simatupang mengatakan PLN cenderung bertopang pada kepentingan komersial pada kebijakan peningkatan bauran energi bersih di dalam negeri.
Baca Juga:
Energi Terbarukan RI Masih Tertatih, Ini Datanya
Konsekuensinya, realisasi investasi pada sektor EBT seret hingga pertengahan tahun ini.
“Jadi memang ada faktor komersialnya di dalam hal ini walau ada mandat untuk meningkatkan bauran energi, kalau PLN merasa secara komersial mahal, mereka pasti tidak serta merta menyetujui skema pembeliannya, itu yang membuat [investasi EBT] lambat,” kata Arthur kepada media, Senin (6/6/2022).
Padahal, kata Arthur, investasi untuk pembangunan pembangkit listrik berbasis EBT itu relatif mahal di Indonesia.
Baca Juga:
Komisi VII DPR Dukung Penuh PLN Kembangkan Super Grid, Smart Grid dan Smart Control Center
Artinya, harga jual listrik ke PLN sudah dipastikan lebih mahal jika dibandingkan dengan energi berbasis bahan bakar fosil hari ini.
Kendati demikian, dia menegaskan, tren energi bakal beralih pada energi bersih yang semakin murah ke depan.
“Kalau PLN dapat mandat untuk meningkatkan bauran energi jangan ragu-ragu karena semua tender kan dari mereka, kalau pengadaan sedikit-sedikit jadi investasi EBT juga penambahannya sedikit kalau mereka membuka lebar kesempatan untuk semua pasti partisipasi meningkat,” tuturnya.
Dengan demikian, dia meminta pemerintah untuk segera mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang tarif pembelian tenaga listrik energi baru dan terbarukan (EBT) yang naskahnya sudah rampung pada Januari 2020 lalu.
Perpres itu, kata dia, bakal menjamin harga keekonomian yang mesti dibeli oleh PLN untuk meningkatkan partisipasi swasta pada program bauran energi bersih ke depan.
“Secara komersial ada aturannya dan jelas keekonomian suatu proyek berapa untuk PLTS berapa untuk hydro berapa itu ada faktor ekonomis di sana itu kalau mau beralih cepat,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan realisasi investasi sub sektor energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) baru mencapai US$0,58 miliar atau 14 persen dari target 2022 yang dipatok sebesar US$3,98 miliar.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengatakan rendahnya realisasi investasi itu disebabkan karena molornya pengesahan Peraturan Presiden (Perpres) tentang tarif pembelian tenaga listrik energi baru dan terbarukan (EBT) yang direncanakan rampung pada awal tahun ini.
Selain itu, Dadan menggarisbawahi, kebijakan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS Atap yang sempat terkendala turut memengaruhi capaian investasi yang relatif minim hingga pertengahan tahun ini.
“Dari target hampir US$4 miliar basisnya Perpres tentang tarif EBT bisa keluar di awal tahun juga kebijakan PLTS Atap bisa smooth berjalan,” kata Dadan saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Senin (6/6/2022).
Kendati demikian, Dadan optimis, investasi pada subsektor EBTKE itu dapat mendekati target yang telah dipatok pada tahun ini.
Alasannya, Perpres tentang tarif pembelian tenaga listrik EBT itu diharapkan rampung pada tahun ini.
Dengan demikian, minat investor untuk berinvestasi pada sektor itu dapat terkerek dengan kemudahan dan insentif yang tertuang pada Perpres tersebut.
“Perjalannya sekarang, Perpres untuk tarif EBT sedang dalam proses taraf dari para menteri terkait. Realisasi investasi baru 14 persen atau US$0,58 miliar,” kata dia.
Adapun, berdasarkan data Kementerian ESDM per Mei 2022, tambahan kapasitas pembangkit listrik dari sektor EBT baru mencapai 66 megawatt (MW) atau 10 persen dari target yang ditetapkan mencapai 647,8 MW pada tahun ini.
Sementara setoran lewat penerimaan negara bukan pajak atau PNBP dari sektor EBTKE mencapai Rp 309 miliar atau 20 persen dari target Rp 1,55 triliun. [dny]