WahanaNews-Lampung | Perkara suap dalam proses penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri di Universitas Lampung (Unila) yang menjerat Rektor Prof Dr Karomani terus berkembang.
Terbaru, KPK menggeledah tiga kampus, yakni Universitas Sultan Agung Tirtayasa (Untirta), Universitas Riau (Unri), dan Universitas Syiah Kuala, (USK) Aceh.
Baca Juga:
Kasus Suap Penerimaan Mahasiswa Baru, Eks Rektor Unila Divonis 10 Tahun Penjara
Diketahui, Rektor Karomani dan dua bawahannya telah ditetapkan sebagai tersangka penerima suap kasus.
Karomani diduga mematok harga hingga ratusan juta rupiah per calon mahasiswa bila ingin diluluskan masuk ke Unila.
Perbuatan itu tidak dilakukan Karomani seorang diri. Setidaknya ada 2 orang lain yang diduga terlibat bersama Karomani yaitu Heryandi selaku Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Muhammad Basri selaku Ketua Senat Unila, sedangkan pemberinya adalah Andi Desfiandi selaku pihak keluarga dari salah satu calon mahasiswa.
Baca Juga:
Perkembangan Kasus Suap Penerimaan Maba: Mantan Rektor Unila Segera Disidang
Dalam konferensi pers pada Minggu, 21 Agustus 2022 lalu, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron membeberkan bagaimana perputaran rasuah itu terjadi di tempat para mahasiswa berkuliah.
Karomani diduga mengatur mekanisme Simanila atau Seleksi Mandiri Masuk Unila dengan memerintahkan Heryandi dan Muhammad Basri serta Budi Sutomo selaku Kepala Biro Perencanaan dan Hubungan Masyarakat untuk turut serta menyeleksi secara personal terkait kesanggupan orang tua mahasiswa yang apabila ingin dinyatakan lulus maka dapat dibantu dengan menyerahkan sejumlah uang selain uang resmi yang dibayarkan sesuai mekanisme yang ditentukan pihak universitas.
Karomani memberikan tugas khusus bagi 3 orang itu untuk mengumpulkan sejumlah uang yang disepakati dengan pihak orang tua peserta Simanila yang sebelumnya telah dinyatakan lulus berdasarkan penilaian yang sudah diatur Karomani.
Besaran uang yang telah disepakati yaitu minimal Rp 100 juta sampai Rp 350 juta per orangnya.
Andi Desfiandi selaku salah satu keluarga calon peserta Simanila diduga menghubungi Karomani dan memberikan uang Rp 150 juta karena anggota keluarganya telah dinyatakan lulus Simanila atas bantuan Karomani.
Uang itu dikumpulkan Karomani ke seorang bernama Mualimin selaku dosen.
KPK menyebut uang yang dikumpulkan Karomani ke Mualimin, yaitu Rp 603 juta dan telah digunakan Rp 575 juta untuk keperluan pribadinya.
Selain itu, Karomani diduga mengumpulkan uang juga melalui Budi Sutomo dan Muhammad Basri.
Uang itu telah dialihkan menjadi tabungan deposito, emas batangan, dan juga masih tersimpan dalam bentuk uang tunai dengan total seluruhnya sekitar Rp 4,4 miliar.
Sementara itu dalam operasi tangkap tangan (OTT), KPK menemukan bukti uang tunai Rp 414,5 juta; slip setoran deposito di salah satu bank sebesar Rp 800 juta; dan kunci safe deposit box yang diduga berisi emas senilai Rp 1,4 miliar.
Selain itu, ada bukti lain berupa kartu ATM dan buku tabungan berisi Rp 1,8 miliar.
Atas perbuatannya, Karomani bersama Heryandi dan Muhammad Basri dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sedangkan Andi Desfiandi dijerat sebagai pemberi dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor.
KPK Sebut Jalur Mandiri Tak Transparan
Sejatinya, KPK telah melakukan kajian dan penilaian di sektor pendidikan.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengungkap proses penerimaan mahasiswa jalur mandiri tidak terukur dan tidak transparan.
"KPK memang telah melakukan kajian dan menilai bahwa penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri kurang terukur, kurang transparan dan kurang berkepastian," kata Ghufron, Minggu (21/8).
Ghufron mengatakan jalur penerimaan mahasiswa mandiri itu bersifat lokal dan tidak akuntabel sehingga celah tidak pidana korupsi patut diduga terjadi dalam proses tersebut.
"Karena jalur mandiri ini ukurannya sangat lokal, tidak transparan dan tidak terukur maka kemudian jadi tidak akuntabel. Karena tidak akuntabel, maka kemudian menjadi celah terjadinya tindak pidana korupsi," jelas Ghufron.
Menurut Ghufron, sejatinya proses penerimaan jalur mandiri itu tidak bermasalah.
Hanya saja, dia berharap proses rekrutmennya harus diperbaiki sehingga lebih terukur, akuntabel dan partisipatif.
"KPK berharap ke depan, proses rekrutmen mau apa pun namanya, ada jalur mandiri atau pun jalur afirmasi yang lain, bukan soal mandirinya, bukan soal namanya. Tetapi mekanismenya, harus diperbaiki menuju lebih terukur, lebih akuntabel dan lebih partisipatif," tegasnya. [dny]