WahanaNews-Lampung | Terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan menara (tower) transmisi tahun 2016 pada PT PLN (Persero), PT Bukaka Teknik Utama Tbk buka suara.
Dalam pengadaan tower kerja sama PLN dan PT Bukaka dan 13 penyedia pengadaan tower lainnya, Kejaksaan Agung menemukan unsur perbuatan melawan hukum yang diduga menimbulkan kerugian keuangan negara.
Baca Juga:
Terkait Korupsi KA, Kejagung Periksa Tiga Mantan Kepala BTP Sumbangut
Dalam hal ini, Asosiasi Pembangunan Tower Indonesia (Aspatindo) dan PT Bukaka diduga memonopoli tender proyek pengadaan tower transmisi PLN.
Namun, Presiden Direktur PT Bukaka Irsal Kamaruddin mengatakan pihaknya telah mengikuti aturan terkait pengadaan tower tersebut. Ia pun membantah PT Bukaka mengatur PLN untuk mengakomodasi permintaannya.
"Kalau menurut kami, kami berjalan sesuai alurnya. Kami enggak bisa mendikte PLN dan seterusnya," ujar Irsal di pabrik PT Bukaka, Bogor, Rabu (3/8).
Baca Juga:
Korupsi Tata Niaga PT Timah, 3 Eks Kadis ESDM Babel Dituntut 6 Hingga 7 tahun Penjara
Irsal pun mengatakan pihaknya akan mengikuti proses hukum terkait kasus ini. Diketahui, Kejagung telah menaikkan kasus dugaan korupsi pengadaan tower transmisi tersebut ke tahap penyidikan.
"Ini kan proses masih berjalan. Kami serahkan ke Kejagung," ujar Irsal.
Dalam keterangan terpisah, perusahaan menerangkan, pada 2016 lalu, PLN melakukan pengadaan tower listrik sebanyak 9.085 set dari kebutuhan 120 ribu set untuk 46 ribu km transmisi, dalam rangka proyek listrik 35.000 MW.
"Karena tower PLN standar dan bahan baku baja harus dari Krakatau Steel dengan harga yang sudah ditentukan, maka Kementerian Perindustrian dengan konsultasi PLN, BPKP dan Asosiasi menetapkan harga jual per unit sesuai standar dengan Keputusan Menteri (Kepmen) Perindustrian No.15/M.Ind/Per/3/2016," jelas perusahaan.
Proyek 35 ribu MW sendiri adalah Proyek Strategis Nasional (PSN) sesuai Perpres No. 3 tahun 2016, dan Perpres No. 4 tahun 2016 tentang Infrastruktur Ketenagalistrikan, maka harus dipercepat dan sesuai dengan Perpres tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah No. 54 tahun 2010 pasal 38 ayat 5a, tidak perlu tender apabila ada harga standar dari pemerintah.
Dalam penunjukan awal, pengadaan PLN mengundang 14 perusahaan rekanan. Dari kebutuhan 9.085 set, Bukaka mendapat 1.044 set atau 11,5 persen.
"Artinya Bukaka tidak melakukan monopoli, walaupun Ketua Asosiasi adalah salah satu Direksi Bukaka, karena prosentase pekerjaan untuk Bukaka tidak sebesar yang dibayangkan," terangnya.
Menurut perusahaan, dari semua proses pengadaan tersebut dapat dinilai baik PLN dan rekanan telah bekerja sesuai aturan yang ada.
Selain itu, tidak ada kerugian negara, karena bahan baku dan harga jual sudah ditentukan harganya sehingga pemasok hanya seperti tukang jahit.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana mengungkapkan PT PLN bekerja sama dengan Asosiasi Pembangunan Tower Indonesia (ASPATINDO) dan 14 penyedia pengadaan tower lainnya akan menggarap 9.085 set tower pada 2016. Proyek itu memiliki anggaran pekerjaan sebesar Rp2,5 triliun.
Namun, dalam proses pengadaannya, ditemukan sejumlah unsur perbuatan melawan hukum yang diduga menimbulkan kerugian keuangan negara.
Ketut menyebutkan beberapa unsur itu adalah tidak adanya dokumen perencanaan pengadaan.
Pihak pelaksana justru menggunakan Daftar Penyedia Terseleksi (DPT) tahun 2015 dan penyempurnaannya dalam pengadaan tower.
Berdasarkan aturan, mestinya pihak pelaksana menggunakan produk DPT yang dibuat pada tahun 2016.
"Namun, pada kenyataannya DPT 2016 tidak pernah dibuat," kata Ketut dalam keterangan pers, Selasa (26/7).
Sepanjang pengadaan proyek tower, PLN diduga selalu mengakomodasi permintaan dari ASPATINDO, sehingga dianggap memengaruhi hasil pelelangan dan pelaksanaan pekerjaan yang dimonopoli oleh PT Bukaka.
Adapun Direktur Operasional PT Bukaka merangkap sebagai Ketua ASPATINDO.
Setelahnya, PT Bukaka dan 13 penyedia tower lainnya yang bergabung dalam ASPATINDO melakukan pekerjaan dalam periode kontrak Oktober 2016-Oktober 2017. Realisasi pekerjaan itu mencapai 30 persen.
Setelah periode kontrak berakhir, penyedia tower masih mengerjakan proyek selama November 2017-Mei 2018 tanpa ada legal standing.
"Yang kondisi tersebut memaksa PT PLN (persero) melakukan adendum pekerjaan pada bulan Mei 2018 yang berisi perpanjangan waktu kontrak selama satu tahun," ujar Ketut.
Ketut melanjutkan, penyidik menduga PLN dan penyedia tower juga melakukan adendum kedua untuk penambahan volume dari 9.085 tower menjadi kurang lebih 10.000 set tower.
Mereka pun melakukan perpanjangan waktu pengerjaan sampai dengan Maret 2019 karena pekerjaan belum selesai.
"Ditemukan tambahan alokasi sebanyak 3.000 set tower di luar kontrak dan addendum," katanya.
Dalam penyidikan kasus ini, Kejagung telah memeriksa tiga pejabat PT PLN Persero pada Senin (25/7).
Ketiga orang itu adalah MD selaku General Manager Pusmankom, C Kepala Divisi SCM tahun 2016, serta NI Kepala Divisi SCM tahun 2021. [dny]